BAB I
PENDAHULUAN
1.
Pendahuluan
Tidak
diragukan bahwa kita hidup di suatu dunia yang penuh dengan dimensi perbedaan
dan keragaman. Sebagaimana yang kita saksikan terdapat bangsa-bangsa dan warna
kulit yang beraneka ragam, bahasa yang beraneka-macam, budaya yang berbeda,
agama yang multi-corak, ideologi dan pemikiran yang jamak dan berbagai aspek
serta dimensi hidup manusia lainnya yang tidak sama. Pluralisme agama muncul
akibat dari keberagaman tersebut.
Potensi
konflik dalam interaksi antar agama dapat disebabkan karena unsur internal dari
agama. Setiap agama selalu memiliki klaim kebenaran (truth claim) yang berisi
keyakinan bahwa agamanyalah yang paling benar. Konsekuensinya, agama yang lain
pastilah dikategorikan salah atau sesat sehingga harus diluruskan.Oleh karena
itu, upaya melakukan dakwah agama menjadi keniscayaan dalam rangka “meluruskan”
masyarakat agar kembali “ke jalan yang benar”. Sikap ekslusivitas dan
sensitivitas beragama menjadikan masyarakat gampang terpicu oleh propaganda
yang menyebabkan terjadinya konflik antaragama. Jika keyakinan tersebut tidak
dikontrol dan diatur, yang akan terjadi adalah perbenturan dan konflik antar
agama atas nama truth claim tersebut. Kearifan masyarakat mengekspresikan klaim
kebenaran itulah yang menjadi halpenting mengingat masyarakat kita terdiri dari
berbagai penganut agama, dan terbelah dalam berbagai aliran keagamaan. Sikap
saling menghormati dan bersikap santun terhadap the Other merupakan hal yang
ditekankan agar agama membawa kedamaian, bukan kekerasan dan konflik.
2.
Rumusan Masalahan
1.
Pengertian pluralism agama
2.
Sejarah munculnya pluralism agama
3.
Permasalahan pluralism agama
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pluralism Agama
Pengertian
Pluralisme Agama secara etimologis berasal dari dua kata, yaitu pluralisme dan
agama. Dalam bahasa Arab diterjemahkan “al-t’addudiyyah al-diniyyah” dan dalam
bahasa Inggris “religious pluralism”. Istilah pluralism agama berasal dari
bahasa Inggris, Pluralism berarti jama’ atau lebih dari satu. Dalam kamus
Oxford, pluralisme ditafsirkan dalam bentuk seperti berikut ini
1.
Suatu kehidupan dalam sebuah masyarakat yang dibentuk oleh kelompok-kelompok
suku-bangsa yang berbeda-beda, di mana kelompok-kelompok ini mempunyai
kehidupan politik dan agama yang berbeda. Definisi ini bentuknya menjelaskan
suatu fenomena kemasyarakatan.
2.
Menerima prinsip bahwa kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda dapat
hidup secara rukun dan damai dalam suatu masyarakat. Definisi ini mengandung
suatu ide dan maktab pemikiran.
Pengertian
secara istilah, Pluralisme secara istilah minimal memiliki empat macam
penggunaan:
1.
Pluralisme disamakan dengan toleransi, yakni bermakna toleran dan hidup bersama
secara rukun untuk mencegah dan mengantisipasi pertikaian dan peperangan.
2.
Pluralisme yang bermakna agama adalah satu. Semua agama datang dari sisi Tuhan,
tetapi mempunyai wajah yang berbeda-beda. Perbedaan agama-agama tidak pada
tataran substansi agama, akan tetapi pada arasy pemahaman agama.
3.
Bentuk ketiga makna dari pluralisme adalah bahwa terdapat hakikat yang banyak
dan kita tidak memiliki hanya satu hakikat. Berbagai akidah dan keyakinan yang
saling bertentangan, terlepas dari perbedaan pemahaman kita, semuanya adalah
hakikat dan benar.
4.
Hakikat, merupakan totalitas dari bagian-bagian dan unsur-unsur, di mana
masing-masing dari setiap unsur dan bagian ini ditemukan dalam setiap
agama-agama. Oleh karena itu, kita tidak memiliki satu agama yang komprehensip
dan utuh, tetapi kita mempunyai keseluruhan agama-agama yang setiap dari mereka
memiliki saham hakikat. Dalam agama Islam, hanya sebagian dari hakikat dapat
ditemukan.
Oleh
para ahli sejarah sosial, agama lebih cenderung didefinisikan sebagai suatu
institusi historis suatu pandangan hidup yang institusionalized yang mudah
dibedakan dari yang lain yang sejenis, misalnya agama Budha dan Islam, dengan
hanya melihat sisi kesejarahan yang melatarbelakangi keduanya dan dari
perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan, ritual dan etika yang ada di dalam
ajaran keduanya (Thoha, 2005: 13). Definisi agama yang paling tepat menurut
Anis Malik Thoha adalah yang mencakup semua agama, kepercayaan, sekte, maupun
berbagai jenis ideologi modern seperti komunisme, humanisme, sekularisme,
nasionalisme, dan lainnya.
Dalam
bukunya, Anis mengutip definisi populer dari Pluralisme Agama yang dirumuskan
John Hick. “..pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama – agama besar
dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara
bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Yang Real atau Yang Maha
Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi dan bahwa tranformasi
wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan hakikat terjadi secara nyata
dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut terjadi, sejauh
yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama.”
Pengertian
pluralisme jika dirangkai dengan agama sebagai, maka berdasarkan pemahaman
tersebut di atas bisa dikatakan bahwa “pluralisme agama” adalah kondisi hidup
bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti luas) yang berbeda-beda dalam
satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran
masing masing agama (Thoha, 2005: 14).
Menurut
MUI dalam Keputusan Fatwanya No. 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang pluralisme,
liberalisme dan sekularisme agama, pluralisme agama adalah suatu paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama
adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim
bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain adalah salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup
berdampingan di syurga. MUI menilai paham tersebut bertentangan dengan ajaran
agama Islam.
B.
Sejarah Munculnya Pluralisme Agama
1.
Menurt John Hick
Dari
sejarahnya di Barat, pluralisme agama lahir sebagai sebuah reaksi atas
eksklusivisme Katolik yang menurut John Hick menjadi sebab utama konfilk antar
umat beragama ketika itu. Karena dianggap, fanatisme agama adalah sebab
timbulnya konflik, maka tercetuslah ide bagaimana agar seluruh umat beragama,
khususnya katolik dan kristen, dapat lebih menghormati dan menghargai agama
lain yang tak sejalan. Tujuannya sungguh mulia, yakni demi terciptanya sebuah
kerukunan antar umat beragama.
Paham
ini pun semakin digencarkan persebarannya, terlebih ketika realita berbicara
tentang rentannya praktik kekerasan atas nama agama. Yang kalau dulu hanya
dimonopoli oleh Gereja dengan inkuisisinya, maka dewasa ini, praktik kekerasan
atas nama agama lebih sering dituduhkan kepada umat Islam. Baik itu dengan
tuduhan teroris, fundamentalis, maupun ekstrimis.
2.
Menurut Dr. Anis Malik toha
Dr.
Anis Malik Thoha (AMT): Pada awal abad ke-20 seorang teolog Kristen Jerman
bernama Ernst Troeltsch menggulirkan perlunya bersikap pluralis ditengah-tengah
berkembangnya konflik intern antar aliran-aliran dalam agama Kristen maupun
antar agama. Dia berpendapat dalam sebuah artikelnya yang berjudul "The
Place of Christianity among the World Religions", bahwa umat Kristiani
tidak berhak mengklaim paling benar sendiri. Pendapat senada ternyata juga
banyak dilontarkan oleh sejumlah pemikir dan teolog lainnya
seperti
sejarawan terkenal Arnold Toynbee dan tokoh Protestan liberal Friedrich
Schleiermacher.
Pada
dasarnya munculnya ide pluralisme agama ini dilatarbelakangi oleh menghebatnya
pertikaian antara madzhab-madzhab dalam agama Kristen yang terjadi pada akhir
abad ke-19 hingga sampai pada tingkatan mutual exclusion (saling mengkafirkan),
sehingga mendorong presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Grover Cleveland,
turun tangan untuk mengakhiri perang antar madzhab tersebut. Hal ini bisa
dipahami, mengingat pada awal-awal abad ke-20 telah bermunculan bermacam-macam
aliran fundamentalis di Amerika Serikat. Selain konflik antar aliran madzhab
dalam Kristen, faktor politik juga terkait rapat dengan latar belakang gagasan
ini. Pluralisme agama adalah respon terhadap political pluralism yang telah
cukup lama digulirkan (sebagai wacana) oleh para peletak dasar-dasar demokrasi
pada awal-awal abad modern, dan yang secara nyata dipraktikkan oleh USA.
Kecenderungan umum dunia Barat waktu itu tengah berusaha menuju modernasasi di
segala bidang. Dan salah satu ciri dari modern adalah demokrasi, globalisasi
dan HAM. Maka dari sinilah lahir political pluralism. Jika dilihat dari konteks
ini, maka religious pluralism pada hakekatnya adalah gerakan politik dan bukan
gerakan agama.
3.
Pendapat Karen Amstrong
Menurut
Karen Amstrong, di masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam, tidak ada tekanan
pada kaum Yahudi, Kristen, atau Zoroaster agar beralih ke Islam. Kaum Muslim
tetap menjaga apa yang diistilahkan oleh Karen pluralisme agama di Timur Tengah
dan belajar hidup berdampingan dengan anggota-anggota agama lain, yang menurut Alquran,
merupakan pewahyuan awal yang valid.
Jauh
sebelum masa Renaisans di Eropa ketika istilah pluralisme agama belum muncul,
selama 600 tahun, para penganut tiga agama monoteis (Yahudi, Kristen dan Islam)
yang bersejarah itu dapat hidup bersama dalam harmoni yang relatif damai di
Spanyol yang Muslim. Kaum Yahudi, yang diburu-buru kematiannya di seantero
Eropa, dapat menikmati kebangkitan budaya mereka yang kaya. Tidak sedikit
kerjasama dalam bidang pemerintahan dan ilmu pengetahuan antara tiga pemeluk agama
tersebut. Masa Renaisans di Eropa tidak Spanyol ini.
C.
Permasalah Pluralism Agama
Pluralisme
agama adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama itu sama. Karena itu,
kebenaran setiap agama adalah relatif. Setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, agama lain adalah salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan
berdampingan di surga.
Pluralisme
Agama berasumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan
yang sama. Menurut penganut paham ini, semua agama (bisa jadi) punya jalan yang
berbeda-beda tetapi menuju Tuhan yang sama. Mereka menyataka bahwa agama adalah
persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak. Karena kerelatifannya
itu, maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa
agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain? atau mengklaim bahwa
hanya agamanya sendiri yang benar.
Yang
unik dalam fenomena baru ini adalah bahwa pemikiran “persamaan” agama
(religious equality) ini, tidak saja dalam memandang ekssistensi riil
agama-agama (equality on exixtence), namun juga dalam memandang aspek esensi
dan ajrannya, sehingga dengan demikian diharapkan akantercipta suatu kehidupan
bersama anatar agama yang harmonis, penuh toleransi, saling menghargai atau apa
yang diimpikan oleh para “pluralis” sebagai “pluralisme agama”. Alih alih
menciptakan kerukuan dan toleransi, paham pluralisme agama itu sendiri
sebenarnya sangat tidak toleran, otoriter, dan kejam, karena menafikan kebenaran
semua agama, meskipun dengan jargon menerima kebenaran semua agama.Dengan dalih
Piagam Hak Asasi PBB, maka semua agama harus tunduk dan patuh.
Kaum
pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan
toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan kebenaran
ekslusif sebuah agama. Mereka menafikan klaim "paling benar sendiri"
dalam suatu agama tertentu, tapi justru pada kenyataannya kelompok pluralis-lah
yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami
statement keagamaan (religious statement).
Lagi
pula, masalah pluralisme agama sudah menjadi kajian yang sangat luas di
kalangan umat berbagai agama. Sebelum MUI mengeluarkan fatwa tahun 2005,
Vatikan telah mengeluarkan dekrit Dominus Iesus yang dengan tegas menolak paham
pluralisme agama pada 28 Agustus 2000. Dokumen ini dikeluarkan menyusul
kehebohan di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian
Theology of Religious Pluralism karya Prof Jacques Dupuis 2 / 3.
BAB III
KESIMPULAN
Pluralisme
agama atau pluralitas agama merupakan kenyataan yang tidak bisa dibantah.
Pluralitas agama dipandang sebagai bagian dari kehidupan manusia, yang tidak
dapat dilenyapkan, tetapi harus disikapi. Pluralisme agama berpotensi melahirkan
benturan, konflik, kekerasan, dan sikap anarkis terhadap penganut agama lain.
Potensi ini disebabkan karena setiap ajaran agama memiliki aspek ekslusif
berupa truthclaim, yaitu pengakuan bahwa agamanya yang paling benar. Tuhan yang
disembah, Nabi yang membawawahyu, syariat atau ajaran agama yang dimiliki dan
diyakini sebagai yang paling benar. Konsekuensinya adalah agama lain dianggap
tidak benar dan sesat. Agama yang benar harus meluruskan dan
mengembalikanmanusia ke jalan yang benar, masuk dalam agama mereka. Tidak
mengherankan jika seluruh agama berlomba-lomba melakukan dakwah untuk
mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya.
Dengan
demikian, pluralisme menyimpan potensi positif maupun negatif dalam konteks
hubungan manusia dan masyarakat. Upaya membangun toleransi yaitu dengan
perjumpaan dan dialog yang konstruktif dan berkesinambungan dengan agama lain
merupakan tugas manusia. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka alih-alih
agama menjadi sumber bagi penciptaan dunia yang damai, justru menjadi sumber konflik
dan kekerasan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wim Beuken dan Kar- Josef Kusc,
dkk, bahwa kekerasan yang disebabkan oleh agama karena adanya; (1) klaim sebuah
agama sebagai satu satunya agama yang benar, (2) agama dianggap jaminan
langsung kesejahteraan masyarakat, (3) agama yang dianut dianggap sebagai
perjanjian dan pilihan Tuhan. Pada intinya, agama menjadi sumber konflik dan
kekerasan disebabkan oleh ekslusivitas dan fanatisme agama sehingga menyebabkan
suatu agama merasa paling benar dan merasa berhak memperlakukan agama lain
sebagai pihak yang sesat. Bahkan, perilaku kekerasan kadangkala dianggap
sebagai bagian dari “tugas suci” agama.
Daftar
pustaka :
Tobroni
& Arifin, Syamsul. 1996. Islam: Pluralisme Budaya dan Politik. Yogyakarta:
SIPRESS
Riyadi,
Hendar. 2006. Melampaui Pluralisme: Etika al-Qur’an tentang Keragaman Agama.
Jakarta: RMBOOKS &PSAP.
(http://munzaro.blogspot.com/2010/10/pluralisme-agama.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar