Melukis

Melukis
Perjalanan Spritual Untuk Negri

Sabtu, 24 Desember 2011

OTONOMI PERGURUAN TINGGI


OTONOMI PERGURUAN TINGGI

A.   Pendahuluan
Selama pemerintahan Orde Baru, praktik pendidikan di Indonesia memperlihatkan ciri utama yaitu adanya sentralisasi yang amat kuat. Kecenderungan sentralisasi otoritas sangat tinggi, dimana hampir semua hal ditentukan oleh pusat, sebaliknya hak-hak daerah diambil pusat sehingga aparat di daerah tidak berdaya. Sentralisasi ini juga diikuti dengan adanya formalisasi yang amat tinggi, yang mengatur sampai ke hal-hal yang kecil. Sejak dari gagasan, proses penentuan kebijakan, pembuatan undang-undang, sampai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pun dibuat oleh pusat. Akibatnya, daerah tidak terbiasa menyelesaikan persoalan sendiri karena harus meminta petunjuk pusat. Bagi dunia pendidikan berarti tidak ada otonomi bagi penyelenggaraan pendidikan di daerah, juga tidak ada otonomi pendidikan pada lapis paling depan termasuk perguruan tinggi.
Pada hakikatnya otonomi bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah. Lembaga-lembaga dimaksud diharapkan mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa banyak dipengaruhi dan tergantung dari pihak lain. Dalam rangka untuk mencapai tujuan kemandirian tersebut dilakukan upaya-upaya pemberdayaan (empowerment) terutama semua pihak terkait dengan pelaksanaan otonomisasi itu.
Desentralisasi pendidikan adalah penyerahan kekuasaan pemerintah kepada daerah dalam bidang pendidikan. Salah satu model desentralisasi pendidikan adalah otonomi perguruan tinggi, yaitu pemberian kewenangan secara luas kepada perguruan tinggi untuk mengatur organisasi dan rumah tangganya sendiri dengan badan hukum yang bersifat nirlaba. Unsur-unsur yang terlibat dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi menurut PP Nomor 60 Tahun 1999 Pasal 27 adalah dewan penyantun, unsur pimpinan, unsur tenaga pengajar, senat perguruan tinggi, unsur pelaksana akademik (bidang pendidikan, bidang penelitian, dan bidang pengabdian pada masyarakat), unsur pelaksana administratif, dan unsur penunjang (perpustakaan, laboratorium, bengkel, pusat komputer, kebun percobaan dan lain-lain yang dirasa perlu).
Sementara itu, berdasarkan PP Nomor 61 Tahun 1991, organisasi perguruan tinggi terdiri dari unsur-unsur (1) majelis wali amanat, (2) dewan audit, (3) senak akademik, (4) pimpinan, (5) tenaga edukatif, (6) tenaga administrasi, (7) teknisi, (8) pustakawan, (9) unsur pelaksana akademik (fakultas, jurusan, lembaga, pusat-pusat, dan bentuk lain yang dianggap perlu, (10) unsur pelaksana administratif (biro, bagian, atau bentuk lain yang dianggap perlu), (11) unsur penunjang (pepustakaan, laboratorium, bengkel, pusat komputer, dan lainnya).
Desentralisasi pendidikan sebagai penyerahan wewenang urusan pemerintahan kepada daerah, sehingga wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah, termasuk di dalamnya penentuan kebijakan perencanaan pelaksanaan, maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaan dan aparatnya (Tim Teknis Bappenas, 1999 : 6).
Pendidikan tinggi memerlukan otonomi bukan hanya otonomi dalam bentuk kebebasan akademik, tetapi juga otonomi kelembagaan dalam masalah-masalah manajemen, penyusunan program, dan anggaran. Dengan demikian, pendidikan tinggi tersebut sebagai lembaga akan bersifat kreatif dan menjadi pelopor perubahan baik di dalam masyarakat sekitarnya maupun di dalam kemajuan ilmu pengetahuan.
Dengan adanya otonomi lembaga pendidikan tinggi, maka dapat dipilah-pilah prinsip-prinsip mana yang dapat diterapkan dalam lingkungan pendidikan tinggi yang ada. Mengubah suatu sistem manajemen pendidikan tinggi tidaklah semudah sebagaimana yang digambarkan. Terdapat banyak kendala yang dihadai di dalam penerapan suatu sistem. Selain itu, setiap perubahan sistem biasanya menuntut biaya dan persiapan yang matang, apalagi jika tidak tersedia sumber daya manusia yang diperlukan, maka setiap penerapan prinsip manajemen baru akan meminta biaya besar.
Namun demikian, dalam rangka penerapan otonomi perguruan tinggi terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi, yaitu (1) kualitas sumber daya manusia yang terbatas; (2) sikap dan budaya kerja yang kurang disiplin; (3) terbatasnya sumer daya pemerintah untuk menyediakan biaya operasional tahap awal; (4) terbatasnya kemampuan orang tua untuk menyekolahkan anaknya dengan pembayaran SPP yang tinggi; dan (5) kurangnya kesabaran dosen, teknisi dan tenaga administrasi untuk berjuang bersama dengan penghargaan yang terbatas sebelum perguruan tinggi menghasilkan cukup dana dari usaha swadananya (Sufyarma, 2003 : 164).
Sekarang beberapa perguruan tinggi di Indonesia diperkenankan menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), tetapi dari beberapa informasi yang didapatkan pelaksanaan BHMN ini mengundang persoalan baru terutama dalam sektor pembiayaan yang berakibat tingginya SPP yang harus dibayar oleh mahasiswa, dan ini mengundang banyak keluhan terutama dari para orang tua.

B.   Konsep Otonomi Perguruan Tinggi
Membangun hubungan yang erat antara perguruan tinggi dengan dunia kerja merupakan satu hal yang sangat penting mengingat hubungan itu bisa menghasilkan keuntungan besar bagi pembangunan dan penyelenggaraan perguruan tinggi. Bagi perguruan tinggi, mereka akan lebih mampu mendefinisikan peran mereka, identitas mereka sebagai institusi pendidikan, mendefinisikan hubungan antar perguruan tinggi dengan lembaga-lembaga industri (Solomon, Boud, 2001). Itu semua bisa dilakukan apabila perguruan tinggi memiliki kreativitas dan kemampuan inovasi dalam pengembangan kelembagaannya. Dalam upaya membangun kemampuan kreativitas dan inovasi tersebut, perguruan tinggi harus diberikan keleluasaan untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri atau yang sering disebut dengan otonomi perguruan tinggi.
Suatu pendidikan tinggi memerlukan otonomi bukan hanya otonomi dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik seperti yang dikenal selama ini, tetapi juga otonomi lembaga di dalam masalah-masalah manajemen, penyusunan program, dan anggaran. Dengan demikian, perguruan tinggi tersebut sebagai lembaga akan bersifat kreatif dan menjadi pelopor perubahan baik di dalam masyarakat sekitarnya maupun di dalam kemajuan ilmu pengetahuan.
Menurut PP Nomor 60 Tahun 1999, pendidikan tinggi adalah pendidikan jalur pendidikan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi daripada pendidikan menengah. Perguran tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. Selanjutnya menurut PP  tersebut (Pasal 2) tujuan pendidikan tinggi adalah :
1.    Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian;
2.    Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian, serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Dalam aktivitas kesehariannya perguruan tinggi menyelenggarakan yang dinamakan dengan “Tri Dharma Perguruan Tinggi”, yaitu (1) pendidikan dan pengajaran, (2) penelitian, dan (3) pengabdian pada masyarakat.
Dalam Pasal 17 ayat (1) PP Nomor 60Tahun 1999 dinyatakan bahwa kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan merupakan kebebasan yang dimiliki civitas akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab dan mandiri.
Pengertian umum tentang asas otonomi dan kebebasan akademik adalah (1) otonomi merupakan hak atau kewenangan yang diberikan oleh pihak yang berwenang atau pemerintah kepada suatu lingkungan masyarakat, himpunan ataupun badan resmi lain untuk menyelenggarakan fungsi secara mandiri selama hal tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku secara umum dalam masyarakat; (2) kebebasan akademik merupakan kebebasan yang ada pada civitas akademika dalam melaksanakan tuga dan kegiatan fungsionalnya, yaitu pendidikan dan penelitian ilmiah.
Dalam konteks perguruan tinggi, otonomi secara luas dapat diartikan sebagai pemberian kewenangan bagi perguruan tinggi untuk mengatur organisasi dan rumah tangganya sendiri melalui pembentukan badan hukum yang bersifat nirlaba. Dalam pembentukan badan hukum tersebut sebagian aset pemerintah dipisahkan dengan pertimbangan untuk keperluan dan maksud tertentu.
Pemberian otonomi kepada perguruan tinggi menyangkut beberapa aspek sebagai berikut :
1.    Otonomi eksternal, dalam bentuk pemberian status sebagai badan hukum, atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Seagai unit independen, perguruan tingi bukan lagi unit pelayanan Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional.
2.    Otonomi Organisasi, perguruan tinggi memiliki kebebasan untuk menetapkan struktur organisasi, termasuk menetapkan struktur program studi dan kegiatan akademik serta merencanakan sumber daya.
3.    Otonomi kelembagaan, dimana perguruan tinggi mempunyai kebebasan untuk menetapkan bagaimana fungsi dan kontribusi mereka dalam mengembangkan, melanggengkan, mentransmisikan, dan menggunakan ilmu pengetahuan. Begitu juga, mereka mempunyai kebebasan untuk memutuskan riset apa yang perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya, serta dengan pihak siapa saja mereka ingin bekerja sama dalam melakukan penelitian dan pelatihan penelitian.
Menurut Hamijoyo (1992 : 2), otonomi perguruan tinggi sebagai salah satu model desentralisasi pendidikan adalah (1) pola dan pelaksanaan manajemen harus demokratis; (2) pemberdayaan masyarakat harus menjadi tujuan utama; (3) peran serta masyarakat menajdi bagian mutlak dari sistem pengelolaan; (4) Pelayanan harus lebih cepat, efisien, efektif, melebihi pelayanan era sentralisasi demi kepentingan peserta didik dan rakyat banyak; dan (5) keanekaragaman aspirasi dan nilai serta norma lokal harus dihargai dalam penguatan sistem pendidikan nasioanal.
Otonomi Perguruan Tinggi bertujuan (1) untuk mengambil keputusan secara bebas sesuai dengan potensi dan kemajuan IPTEK; (2) untuk meningkatkan kualitas berbagai inovasi dalam IPTEK; (3) untuk meningkatkan kegiatan sosial sebagai perwujudan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi (Sufyarma, 2003 : 160).
Selanjutnya Sufyarma (2003, 160) mengemukakan bahwa dengan pemberian otonomi perguruan tinggi banyak manfaat yang didapatkan, yaitu :
1.    Dapat merencanakan, melaksanakan dan mengontrol sumber daya perguruan tinggi secara efektif;
2.    Lebih fleksibel dan dinamis dalam menentukan kebijakan perguruan tinggi tanpa menunggu petunjuk dan persetujuan dirjen Dikti;
3.    Lebih realistis untuk melaksanakan visi dan misinya, dan
4.    Dalam jangka panjang perguruan tinggi menjadi institusi yang independen dari pemerintah, kekuatan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya.

C.   Akuntabilitas Perguruan Tinggi     
Akuntabilitas suatu lembaga pendidikan tinggi berarti sejauhmana lembaga tersebut mempunyai makna dari the shareholder lembaga tersebut, yaitu masyarakat. Suatu lembaga pendidikan tinggi tidak mempunyai nilai akuntabilitas apabila lembaga tersebut terlepas dari jangkauan atau kebutuhan masyarakat yang memilikinya. Pendidikan tinggi yang bertahta di atas menara gading sudah tentu tidak mempunyai akuntabilitas.
Dalam upaya meningkatkan akuntabilitas perguruan tinggi, perlu ditingkatkan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaannya. Hal ini berarti masyarakat merasa memiliki dan karenanya aktif menunjang pengembangannya. Konteks-konteksnya dengan hal itu, berarti perguruan tinggi berfungsi tidak hanya sebagai pengembang dan tempat menggali ilmu pengetahuan, tetapi lebih jauh bisa dikatakan sebagai industri jasa. Dengan kata lain, perguruan tinggi perlu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan perkembangan ekonomi atau tenaga kerja yang diperlukan oleh daerah dimana lembaga pendidikan tinggi itu berada.
Akuntabilitas sangat diperlukan seperti sekarang ini ketika sebagian besar masyarakat berpikiran pragmatis, yang biasanya selalu mempertanyakan apa yang bisa dilakukan dan apa jaminan masa depan anak-anaknya apabila dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi yang menjadi pilihannya. Apabila perguruan tinggi tersebut kurang mampu memberikan jaminan, dengan sendirinya perguruan tinggi tersebut sedikit demi sedikit akan ditinggalkan orang.
Selama ini akuntabilitas terasa masih minim, sehingga perguruan tinggi bagaikan sebuah menara gading, berdiri megah, hebat, tetapijarang tersentuh masyarakatnya, masyarakat terasa asing terhadap keberadaan lembaga pendidikan tersebut, sehingga kepedulian mereka juga boleh dikatakan hampir tidak ada. Jangankan masyarakat mengenal siapa-siapa dosen dan karyawannya, untuk kalangan pejabat atau pimpinannya saja tidak tahu dan tidak kenal. Kalau demikian, tentu sangat sulit untuk mengharapkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan kepedulian lembaga yang ada.
Di negara mana pun, pendidikan tinggi semakin dituntut untuk memberikan pertanggungjawaban tentang penyelenggaraan dan pelaksanaan misi dan fungsinya. Hal demikian wajar karena pendidikan tinggi selalu berhadapan dengan sejumlah pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang memiliki pengaruh terhadap aliran sumber daya yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan tinggi.
Secara harfiah dan substantif materi, akuntabilitas yang menyangkut bagaimana sumber daya yang diterima oleh perguruan tinggi dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk berbagai aktivitas yang menunjang pencapaian yang diinginkan. Akuntabilitas tersebut antara lain menyangkut derajat efisiensi dan kesesuaian dengan norma dan peraturan yang berlaku umum. Akan tetapi, akuntabilitas yang dituntut dari perguruan tinggi menyangkut juga hal-hal yang lebih luas dari hanya auditabilitas.
Paling tidak akuntabilitas menyangkut hal-hal seperti (1) kesesuaian antara visi dengan falsafah, moral, dan etika yang dianut secara umum oleh masyarakat; (2) kesesuaian antara tujuan dengan pola kegiatan civitas akademika serta hasil dan dampak yang dicapai; (3) keterbukaan terhadap pengawasan dan pemantauan oleh pihak yang berkepentingan mengenai penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan fungsionalnya yang meliputi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; (4) akuntabilitas dalam pemanfaatan sumber daya dalam upaya pencapaian tujuan yang ditetapkan; (5) Akualisasi asas otonomi dan kebebasan akademik agar tidak disalahgunakan atau menyimpang dari peraturan dan kesepakatan yagn ditetapkan sebagai rambu-rambu; (6) kesadaran para civitas akademika bahwa aktualisasi perilakunya tidak mengganggu pelaksanaan kegiatan fungsional lembaga dan juga masyarakat pada umumnya.
Dalam manajemen perguruan tinggi, akuntabilitas seyogianya menjadi acuan dasar dari pengembangan perangkat aturan, pengaturan dan kesepakatan yang mengikat seluruh civitas akademika dan mengupayakan peningkatan mutu lulusan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat yang membutuhkannya.


D.   Perguruan Tinggi dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN)
Pengelolaan sumber daya manusia merupakan isu sentral dalampengelolaan perguruan tinggi. Oleh karena itu, sebuah perguruan tinggi harus dapat menghasilkan SDM yang mampu : (1) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) mengolah potensi-potensi pembangunan; (3) meningkatkan produktivitas, modal dan investasi; serta (4) SDM yang peka dan termotivasi untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan (Surakhmad, 1999 : 19). Selanjutnya Suryadi (1997 : 11) mengemukakan bahwa perguruan tinggi harus mampu mengembangkan SDM Indonesia yang bermutu, yaituyang mampu memberikan ketahanan bangsa dalam era global. Mutu SDM dimaksud paling tidak memiliki tiga komponen, yaitu : (1) memiliki penguasaan keahlian dalam cabang ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) mampu bekerja secara profesional; dan (3) mampu menghasilkan karya yang bermutu.
Salah satu upaya peningkatan SDM dan kapasitas otonomi perguruan tinggi, maka dilakukan perubahan status badan hukum perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Ada beberapa alasan mendasar yang melatari mengapa pemerintah melakukan perubahan status badan hukum PTN ini, yaitu sebagai berikut :
1.    Dalam rangka menjalankan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 51 ayat (2) tentang prinsip pelaksanaan pengelolaan satuan pendidikan tinggi yang dilaksanakan secara otonom dan Pasal 53 ayat (1) – (3) tentang Badan Hukum Pendidikan, maka pemerintah kemudian mengupayakan satu sistem pendidikan tinggi yang dilaksanakan secara mandiri, berorientasi mutu, prinsip nirlaba, serta mampu mengelola dana pendidikannya secara mandiri.
Upaya-upaya tersebut selanjutnya menggiring pemerintah untuk melaksanakan pilot project pelaksanaan perguruan tinggi BHMN pada beberapa PTN, yaitu Universitas Indonesia, UGM, ITB dan IPB, yang acuan pelaksanaannya berdasarkan pada PP No. 152 Tahun 2000 untuk UI, PP Nomor 153 Tahun 2000 untuk UGM, PP Nomor 154 Tahun 2000 untuk ITB, dan PP Nomor 155 Tahun 2000 untuk IPB.
Proses pilot project tersebut kemudian melahirkan sejumlah aturan baru, diantaranya adalah jika dalam PP Nomor 30 Tahun 1999 dan PP Nomor 70 Tahun 1999, Rektor Universitas / Institut yang diselenggarakan pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri (Pendidikan), Menteri lain atau lembaga pemerintah lain setelah mendapat pertimbangan senat universitas/institut bersangkutan, maka khusus bagi universitas/institut berstatus BHMN, Rektor diangkat dan diberhentikan oleh Majelis Wali Amanat (MWA), yang terdiri dari Menteri, Senat Akademik, Masyarakat, Karyawan, Mahasiswa, dan Rektor.
2.    Pemerintah saat ini tengah mengalami kendala pendanaan pendidikan yang cukup serius. Akibatnya, banyak institusi pendidikan yang terbengkalai tanpa ada perhatian pengembangan yang cukup baik dari pemerintah. Kendala pendanaan pendidikan ini mungkin terjadi karena memang pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk membiayai pendidikan. Namun, hal itu tidaklah sepenuhnya benar sebab pada kenyataannya banyak terjadi penyimpangan dana pendidikan yang tidak tepat peruntukannya.
3.    Banyak kalangan yang menilai bahwa kinerja perguruan tinggi negeri secara umum masih kurang memuaskan sehingga perlu adanya treatment baru dalam pengelolaannya. Masih kurang memuaskannya kinerja PTN terlihat dari tingginya inefisiensi yang dilakukan di beberapa PTN. Pola layanan yang diberikan kepada para stakeholders dianggap masih probirokrat sehingga kesan layanan yang lambat, tidak produktif, mewarnai kinerja yang dilakukan PTN.
Ketiga hal yang melatari kelahiran PT BHMN tersebut dalam realitasnya pada akhirnya mendulang sejumlah kontroversi dan menimbulkan dampak yang cukup signifikan dalam pengelolaan pendidikan di lapangan. Diantara dampak langsung dari PT BHMN ini adalah semakin mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat. Selain itu Konsekuensi PT BHMN adalah keharusan almamater untuk lebih bersifat enterpreneurial, dengan lebih berorientasi pada sektor bisnis dan manajemen yang lebih efisien dan efektif.
Mungkin dapat dipahami bahwa sebuah perguruan tinggi memerlukan biaya besar dan mahal untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang baik dan bermutu. Biaya-biaya tersebut terutama diperlukan guna menjamin keberlangssungan dan ketersediaan (1) tenaga akademik yang berkualitas; (2) buku perpustakaan; (3) peralatan laboratorium; (4) ruang kuliah dan kantor dan (5) fasilitas pendukung lainnya seperti seperangkat komputer dan jaringan internet guna memudahkan akses ke berbagai sumber daya akademik secara elektronik (jurnal ilmiah, publikasi hasil penelitian, dan sebagainya).

E.   Kemampuan Membangun Networking
Keadaan dunia tanpa batas yang penuh tantangan dan peluang harus dihadapi sebagai suatu kenyataan oleh pendidikan tinggi. Dengan menawarkan program-program akademik unggulan, lebih-lebih yang bertaraf internasional, maka lembaga pendidikan tinggi akan mampu bersaing secara global dan akan bisa terus survive.
Sebuah perguruan tinggi pada dasarnya bukanlah suatu self sufficient institution, lebih-lebih dalam dunia terbuka dan tanpa batas seperti sekarang. Sebuah perguruan tinggi memerlukan nerworking atau jaringan kerja sama dalam bentuk kemitraan yang sejajar antara semua perguruan tinggi dan pihak-pihak lain yang diperlukan untuk kemajuan perguruan tinggi tersebut. Antara PTN dengan PTN, antara PTS dengan PTS, antara PTN dengan PTS haruslah merupakan suatu jaringan kemitraan yang saling membantu. Dengan dilakukannya kerja sama ini, sumber-sumber yang tersedia akan saling melengkapi sehingga terjadi efisiensi di dalam sistem pendidikan yang dilaksanakan. Persaingan boleh sja terjadi selama konteks  pengembangan dan peningkatan kualitas.
Kerja sama antarlembaga pendidikan tinggi perlu juga dilengkapi dengan kerja sama dengan dunia industri, lembaga-lembaga konsumen, dunia kerja yang memerlukan tamatan-tamatan pendidikan tinggi. Hal ini menjadi lebih penting ketika cara berpikir masyarakat sangat pragmatis seperti sekarang ini, yang menginginkan lulusan perguruan tinggi mampu berkeja dan menjamin masa depannya.
Di samping itu, kerja sama juga snagat diperlukan dengan lembaga-lembaga penelitian yang ada di dalam dunia industri, LSM, organisasi-organisasi, dan masyarakat. Dengan demikian, kerja sama yang dilakukan selalu dalam “win-win” yang saling menguntungkan, baik untuk perguruan tinggi sendiri maupun untuk industri sehingga keduanya akan dapat mengambil manfaat dari kerja sama yang produktif dari lembaga-lembaga penelitian tersebut.
Apabila dalam dimensi lokal kerja sama dilakukan antarperguruan inggi baik negeri maupun swasta di dalam negeri, maka dalam konteks global kerja sama yang dilakukan dengan perguruan tinggi di luar negeri merupakan suatu keharusan. Kerja sama dengan perguruan tinggi terbaik regional dan internasional dapat berupa pertukaran tenaga pengajar, mahasiswa, melakukan penelitian bersama, atau menyusun kurikulum yang baik. Jaringan kerja sama internasional akan memberikan manfaat bagi pengembangan lembaga maupun pengembangan ilmu pengetahuan.
Kemampuan membangun jaringan kerja sama ini hanya bisa dilakukan kalau perguruan tinggi memiliki kemampuan otonomi sehingga terbangun kerja yang kreatif dan inovatif.

F.    Perguruan Tinggi dan Pembangunan Kualitas SDM
Terjadinya perubahan dan perkembangan dunia yang begitu cepat menuntut keunggulan SDM suatu bangsa yang unggul pula agar mampu bersaing dalam iklim yang sangat kompetitif. Hanya manusia unggul yang dapat survive dalam kehidupan yang penuh kompetisi dan ketidakpastian. Oleh kerena itu, pembangunan SDM merupakan kebutuhan mutlak. Dan dalam hal ini perguruan tinggi mempunyai peran sangat strategis.
Pembangunan SDM pada dasarnya merupakan pembangunan manusia sebagai subjek (human capital), objek (human resources) dan penikmat pembangunan. Dimensi pembangunan SDM dapat dilihat dari tiga aspek utama, yaitu kualitas, kuantitas dan mobilitas penduduk. Kualitas penduduk tercermin antara lain dari tingkat kesejahteraan penduduk, yaitu pendidikan, produktivitas dan akhlak mulia menuju pada pencapaian kesejahteraan sosial yang baik.
Salah satu indikator utama peningkatan kualitas SDM terlihat dari meningkatnya tingkat pendidikan, di samping indikator lainnya. Berdasarkan Human Development Report 2003, nilai Human Development Index (HDI) atau Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia merosot dari 0,684 menjadi 0,682. Hal ini menyebabkan peringkat Indonesia di antara 175 negara juga merosot dari posisi 110 menjadi 112. Kenyataan tentu bukan sesuatu yang menggembirakan sebab ternyata bangsa-bangsa lain begitu serius untuk melakukan pengembangan SDM-nya, terutama sekali melalui pendidikan. Dalam kaitan ini, perguruan tinggi dapat menjadi agent of change yang terdepan, yang dapat merespons semua aspirasi perkembangan keilmuan dan kebutuhan pembangunan yang ada.
Untuk melakukan berbagai perubahan, perguruan tinggi di Indonesia memang mengalami kendala yang boleh dikatakan luar biasa sulitnya. Hal ini terutama disebabkan sistem yang sudah sedemikian terbangunan, belum lagi mentalitas para pemimpin dan seniornya yang cukup feodal dan sulit untuk menerima sebuah perubahan. Ini terjadi karena sekian lmaa perguruan tinggi dibangun dengan sistem pemerintahan yang sentralistik, yang segala-galanya harus ditentukan oleh pusat.
Sebagai akibat kebijakan sentralisasi dalam beberapa dekade penyelenggaraan pendidikan tinggi, dampaknya tidak saja melahirkan sifat-sifat seperti ambivalen, afirmatif, arogan, dan sebagainya, tetapi juga kesulitan dalam pengembangan dan peningkatan kualitasnya sehingga sulit bersaing dengan perguruan-perguruan tinggi yang ada di luar negeri. Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan tinggi, dampak yang boleh dikatakan cukup fatal dapat dilihat antara lain sebagai berikut.
1.    Matinya kreativitas dan inovasi, dimana adanya peraturan dan perundang-undangan yang sentralistis menjadikan tidak jalannya kreativitas dan inovasi di lingkungan perguruan tinggi. Sebagai contoh, penambahan program studi baru dan penyelenggaraan distance learning tidak mudah untuk segera dilaksanakan.
2.    Kekakuan dan kekacauan dalam penyelenggaraan proses pembelajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Di Indonesia untuk menyelesaikan S1 harus menempuh sebanyak 144-160 sks. Berdasarkan referensi dari negara-negara lain (Amerika, Australia, Eropa dan negara-negara ASEAN lain) untuk mencapai gelar B.A., B.Sc. (setara S1 di Indonesia) diperlukan hanya 120 SKS. Di Indonesia perguruan tinggi yang menerapkan kurikulum 120 sks dengan menerapkan pengkajian kurikulum secara cermat, sering kali mendapat teguran.
Persoalan lain yang masih dihadapi perguruan tinggi, selain otonomi perguruan tinggi, adalah masih terjadinya kesenjangan perhatian pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi, terutama menyangkut pembiayaan. Kesenjangan tersebut seperti PTN dan PTS, PTN Umum dan PTAIN, dan lain-lain. Bagi perguruan tinggi swasta, memperoleh cipratan 2 persen saja setahun dari anggaran Dikti sudah merupakan sesuatu yang luar biasa besarnya. Begitu juga anggaran pembaiayaan perguruan tinggi yang berada di bawah Departemen Agama, meskipun statusnya negeri, namun pembiayaan masih sangat kurang. Bahkan, berdasarkan hasil penelitian, biaya operasional yang diberikan pemerintah terhadap 14 buah IAIN se-Indonesia, tidak lebih besar dibandingkan sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta.
Dalam konteks pengembangan kualitas sumber daya manusia, perguruan tinggi merupakan lembaga yang berupaya mencetak sumber daya manusia tingkat tinggi, yang akan menjadi penggerak dan pemimpin masyarakatnya. Untuk meningkatkan kualitas suatu perguruan tinggi, diperlukan tenaga-tenaga dosen andal dan bermutu. Sejalan dengan itu, perguruan tinggi juga harus mampu melakukan kiprah dalam habitatnya yaitu melaksanakan penelitian, baik yang diperlukan oleh masyarakat sekitar maupun bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Yang jelas tuntutannya adalah kualitas pendidikan dan perguruan tinggi perlu ditingkatkan, baik menyangkut penyelenggaraan dan program-program yang dikembangkan maupun out-putnya. Program-program yang dikembangkan harus dapat memenuhi kebutuhan pelanggannya atau dengan kata lain paling tidak harus memerhatikan tuntutan dunia kerja yang ada, sementara out-put nya juga perlu peningkatan kualitas seiring dengan kualitas penyelenggaraan yang semakin baik.
Di samping diperlukan reformasi tentang penyelenggaraan pendidikan, dalam upaya peningkatan kualitas, diperlukan juga beberapa kondisi, antara lain :
1.    Adanya komitmen politik pada perencanaan pendidikan;
2.    Perencanaan pendidikan harus tahu betul apa yang menajdi hak, tugas dan tanggung jawabnya;
3.    Harus ada perbedaan yang tegas antara area politis, teknis, dan administratif pada perencanaan pendidikan;
4.    Perhatian lebih besar diberikan pada penyebaran kekuasaan untuk membuat keputusan politis dan teknis;
5.    Perhatian lebih besar diberikan pada pengembangan kebijakan dan prioritas pendidikan yang terarah;
6.    Mengurangi politisasi pengetahuan;
7.    Harus berusaha lebih besar untuk mengetahui opini publik terhadap perkembangan masa depan dan arah pendidikan;
8.    Administrator pendidikan harus lebih aktif mendorong perubahan dalam perencanaan pendidikan;
9.    Ketika pemerintah tidak menguasai lagi semua aspek pendidikan, harus lebih diupayakan kerja sama yang saling menguntungkan antara pemerintah –swasta—perguruan tinggi yang memegang otoritas pendidikan.
Akhirnya, dalam upaya peningkatan peran dan kualitas perguruan tinggi ke depan, akuntabilitas dan kemandirian perguruan tinggi merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, para penyelenggara pendidikant inggi sekarnag perlu melakukan introspeksi dan retrospeksi sejauhmana hal tersebut sudah dilakukan. Perguruan tinggi yang memerhatikan akuntabilitas sudah pasti akan melibatkan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini tidak saja dalam bentuk pengelolaan, tetapi juga program-program yang dikembangkan perguruan tinggi harus menyahuti atau mempunyai relevansi dengan berbagai kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar