Melukis

Melukis
Perjalanan Spritual Untuk Negri

Selasa, 27 Desember 2011

PLURALISME AGAMA


BAB I
PENDAHULUAN
1. Pendahuluan
Tidak diragukan bahwa kita hidup di suatu dunia yang penuh dengan dimensi perbedaan dan keragaman. Sebagaimana yang kita saksikan terdapat bangsa-bangsa dan warna kulit yang beraneka ragam, bahasa yang beraneka-macam, budaya yang berbeda, agama yang multi-corak, ideologi dan pemikiran yang jamak dan berbagai aspek serta dimensi hidup manusia lainnya yang tidak sama. Pluralisme agama muncul akibat dari keberagaman tersebut.
Potensi konflik dalam interaksi antar agama dapat disebabkan karena unsur internal dari agama. Setiap agama selalu memiliki klaim kebenaran (truth claim) yang berisi keyakinan bahwa agamanyalah yang paling benar. Konsekuensinya, agama yang lain pastilah dikategorikan salah atau sesat sehingga harus diluruskan.Oleh karena itu, upaya melakukan dakwah agama menjadi keniscayaan dalam rangka “meluruskan” masyarakat agar kembali “ke jalan yang benar”. Sikap ekslusivitas dan sensitivitas beragama menjadikan masyarakat gampang terpicu oleh propaganda yang menyebabkan terjadinya konflik antaragama. Jika keyakinan tersebut tidak dikontrol dan diatur, yang akan terjadi adalah perbenturan dan konflik antar agama atas nama truth claim tersebut. Kearifan masyarakat mengekspresikan klaim kebenaran itulah yang menjadi halpenting mengingat masyarakat kita terdiri dari berbagai penganut agama, dan terbelah dalam berbagai aliran keagamaan. Sikap saling menghormati dan bersikap santun terhadap the Other merupakan hal yang ditekankan agar agama membawa kedamaian, bukan kekerasan dan konflik.
2. Rumusan Masalahan
1. Pengertian pluralism agama
2. Sejarah munculnya pluralism agama
3. Permasalahan pluralism agama
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pluralism Agama
Pengertian Pluralisme Agama secara etimologis berasal dari dua kata, yaitu pluralisme dan agama. Dalam bahasa Arab diterjemahkan “al-t’addudiyyah al-diniyyah” dan dalam bahasa Inggris “religious pluralism”. Istilah pluralism agama berasal dari bahasa Inggris, Pluralism berarti jama’ atau lebih dari satu. Dalam kamus Oxford, pluralisme ditafsirkan dalam bentuk seperti berikut ini
1. Suatu kehidupan dalam sebuah masyarakat yang dibentuk oleh kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda, di mana kelompok-kelompok ini mempunyai kehidupan politik dan agama yang berbeda. Definisi ini bentuknya menjelaskan suatu fenomena kemasyarakatan.
2. Menerima prinsip bahwa kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda dapat hidup secara rukun dan damai dalam suatu masyarakat. Definisi ini mengandung suatu ide dan maktab pemikiran.
Pengertian secara istilah, Pluralisme secara istilah minimal memiliki empat macam penggunaan:
1. Pluralisme disamakan dengan toleransi, yakni bermakna toleran dan hidup bersama secara rukun untuk mencegah dan mengantisipasi pertikaian dan peperangan.
2. Pluralisme yang bermakna agama adalah satu. Semua agama datang dari sisi Tuhan, tetapi mempunyai wajah yang berbeda-beda. Perbedaan agama-agama tidak pada tataran substansi agama, akan tetapi pada arasy pemahaman agama.
3. Bentuk ketiga makna dari pluralisme adalah bahwa terdapat hakikat yang banyak dan kita tidak memiliki hanya satu hakikat. Berbagai akidah dan keyakinan yang saling bertentangan, terlepas dari perbedaan pemahaman kita, semuanya adalah hakikat dan benar.
4. Hakikat, merupakan totalitas dari bagian-bagian dan unsur-unsur, di mana masing-masing dari setiap unsur dan bagian ini ditemukan dalam setiap agama-agama. Oleh karena itu, kita tidak memiliki satu agama yang komprehensip dan utuh, tetapi kita mempunyai keseluruhan agama-agama yang setiap dari mereka memiliki saham hakikat. Dalam agama Islam, hanya sebagian dari hakikat dapat ditemukan.
Oleh para ahli sejarah sosial, agama lebih cenderung didefinisikan sebagai suatu institusi historis suatu pandangan hidup yang institusionalized yang mudah dibedakan dari yang lain yang sejenis, misalnya agama Budha dan Islam, dengan hanya melihat sisi kesejarahan yang melatarbelakangi keduanya dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan, ritual dan etika yang ada di dalam ajaran keduanya (Thoha, 2005: 13). Definisi agama yang paling tepat menurut Anis Malik Thoha adalah yang mencakup semua agama, kepercayaan, sekte, maupun berbagai jenis ideologi modern seperti komunisme, humanisme, sekularisme, nasionalisme, dan lainnya.
Dalam bukunya, Anis mengutip definisi populer dari Pluralisme Agama yang dirumuskan John Hick. “..pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama – agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi dan bahwa tranformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama.”
Pengertian pluralisme jika dirangkai dengan agama sebagai, maka berdasarkan pemahaman tersebut di atas bisa dikatakan bahwa “pluralisme agama” adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing masing agama (Thoha, 2005: 14).
Menurut MUI dalam Keputusan Fatwanya No. 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama, pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain adalah salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di syurga. MUI menilai paham tersebut bertentangan dengan ajaran agama Islam.
B. Sejarah Munculnya Pluralisme Agama
1. Menurt John Hick
Dari sejarahnya di Barat, pluralisme agama lahir sebagai sebuah reaksi atas eksklusivisme Katolik yang menurut John Hick menjadi sebab utama konfilk antar umat beragama ketika itu. Karena dianggap, fanatisme agama adalah sebab timbulnya konflik, maka tercetuslah ide bagaimana agar seluruh umat beragama, khususnya katolik dan kristen, dapat lebih menghormati dan menghargai agama lain yang tak sejalan. Tujuannya sungguh mulia, yakni demi terciptanya sebuah kerukunan antar umat beragama.
Paham ini pun semakin digencarkan persebarannya, terlebih ketika realita berbicara tentang rentannya praktik kekerasan atas nama agama. Yang kalau dulu hanya dimonopoli oleh Gereja dengan inkuisisinya, maka dewasa ini, praktik kekerasan atas nama agama lebih sering dituduhkan kepada umat Islam. Baik itu dengan tuduhan teroris, fundamentalis, maupun ekstrimis.
2. Menurut Dr. Anis Malik toha
Dr. Anis Malik Thoha (AMT): Pada awal abad ke-20 seorang teolog Kristen Jerman bernama Ernst Troeltsch menggulirkan perlunya bersikap pluralis ditengah-tengah berkembangnya konflik intern antar aliran-aliran dalam agama Kristen maupun antar agama. Dia berpendapat dalam sebuah artikelnya yang berjudul "The Place of Christianity among the World Religions", bahwa umat Kristiani tidak berhak mengklaim paling benar sendiri. Pendapat senada ternyata juga banyak dilontarkan oleh sejumlah pemikir dan teolog lainnya
seperti sejarawan terkenal Arnold Toynbee dan tokoh Protestan liberal Friedrich Schleiermacher.
Pada dasarnya munculnya ide pluralisme agama ini dilatarbelakangi oleh menghebatnya pertikaian antara madzhab-madzhab dalam agama Kristen yang terjadi pada akhir abad ke-19 hingga sampai pada tingkatan mutual exclusion (saling mengkafirkan), sehingga mendorong presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Grover Cleveland, turun tangan untuk mengakhiri perang antar madzhab tersebut. Hal ini bisa dipahami, mengingat pada awal-awal abad ke-20 telah bermunculan bermacam-macam aliran fundamentalis di Amerika Serikat. Selain konflik antar aliran madzhab dalam Kristen, faktor politik juga terkait rapat dengan latar belakang gagasan ini. Pluralisme agama adalah respon terhadap political pluralism yang telah cukup lama digulirkan (sebagai wacana) oleh para peletak dasar-dasar demokrasi pada awal-awal abad modern, dan yang secara nyata dipraktikkan oleh USA. Kecenderungan umum dunia Barat waktu itu tengah berusaha menuju modernasasi di segala bidang. Dan salah satu ciri dari modern adalah demokrasi, globalisasi dan HAM. Maka dari sinilah lahir political pluralism. Jika dilihat dari konteks ini, maka religious pluralism pada hakekatnya adalah gerakan politik dan bukan gerakan agama.
3. Pendapat Karen Amstrong
Menurut Karen Amstrong, di masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam, tidak ada tekanan pada kaum Yahudi, Kristen, atau Zoroaster agar beralih ke Islam. Kaum Muslim tetap menjaga apa yang diistilahkan oleh Karen pluralisme agama di Timur Tengah dan belajar hidup berdampingan dengan anggota-anggota agama lain, yang menurut Alquran, merupakan pewahyuan awal yang valid.
Jauh sebelum masa Renaisans di Eropa ketika istilah pluralisme agama belum muncul, selama 600 tahun, para penganut tiga agama monoteis (Yahudi, Kristen dan Islam) yang bersejarah itu dapat hidup bersama dalam harmoni yang relatif damai di Spanyol yang Muslim. Kaum Yahudi, yang diburu-buru kematiannya di seantero Eropa, dapat menikmati kebangkitan budaya mereka yang kaya. Tidak sedikit kerjasama dalam bidang pemerintahan dan ilmu pengetahuan antara tiga pemeluk agama tersebut. Masa Renaisans di Eropa tidak Spanyol ini.
C. Permasalah Pluralism Agama
Pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama itu sama. Karena itu, kebenaran setiap agama adalah relatif. Setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, agama lain adalah salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.
Pluralisme Agama berasumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Menurut penganut paham ini, semua agama (bisa jadi) punya jalan yang berbeda-beda tetapi menuju Tuhan yang sama. Mereka menyataka bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak. Karena kerelatifannya itu, maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain? atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar.
Yang unik dalam fenomena baru ini adalah bahwa pemikiran “persamaan” agama (religious equality) ini, tidak saja dalam memandang ekssistensi riil agama-agama (equality on exixtence), namun juga dalam memandang aspek esensi dan ajrannya, sehingga dengan demikian diharapkan akantercipta suatu kehidupan bersama anatar agama yang harmonis, penuh toleransi, saling menghargai atau apa yang diimpikan oleh para “pluralis” sebagai “pluralisme agama”. Alih alih menciptakan kerukuan dan toleransi, paham pluralisme agama itu sendiri sebenarnya sangat tidak toleran, otoriter, dan kejam, karena menafikan kebenaran semua agama, meskipun dengan jargon menerima kebenaran semua agama.Dengan dalih Piagam Hak Asasi PBB, maka semua agama harus tunduk dan patuh.
Kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan kebenaran ekslusif sebuah agama. Mereka menafikan klaim "paling benar sendiri" dalam suatu agama tertentu, tapi justru pada kenyataannya kelompok pluralis-lah yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statement keagamaan (religious statement).
Lagi pula, masalah pluralisme agama sudah menjadi kajian yang sangat luas di kalangan umat berbagai agama. Sebelum MUI mengeluarkan fatwa tahun 2005, Vatikan telah mengeluarkan dekrit Dominus Iesus yang dengan tegas menolak paham pluralisme agama pada 28 Agustus 2000. Dokumen ini dikeluarkan menyusul kehebohan di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism karya Prof Jacques Dupuis 2 / 3.
BAB III
KESIMPULAN
Pluralisme agama atau pluralitas agama merupakan kenyataan yang tidak bisa dibantah. Pluralitas agama dipandang sebagai bagian dari kehidupan manusia, yang tidak dapat dilenyapkan, tetapi harus disikapi. Pluralisme agama berpotensi melahirkan benturan, konflik, kekerasan, dan sikap anarkis terhadap penganut agama lain. Potensi ini disebabkan karena setiap ajaran agama memiliki aspek ekslusif berupa truthclaim, yaitu pengakuan bahwa agamanya yang paling benar. Tuhan yang disembah, Nabi yang membawawahyu, syariat atau ajaran agama yang dimiliki dan diyakini sebagai yang paling benar. Konsekuensinya adalah agama lain dianggap tidak benar dan sesat. Agama yang benar harus meluruskan dan mengembalikanmanusia ke jalan yang benar, masuk dalam agama mereka. Tidak mengherankan jika seluruh agama berlomba-lomba melakukan dakwah untuk mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya.
Dengan demikian, pluralisme menyimpan potensi positif maupun negatif dalam konteks hubungan manusia dan masyarakat. Upaya membangun toleransi yaitu dengan perjumpaan dan dialog yang konstruktif dan berkesinambungan dengan agama lain merupakan tugas manusia. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka alih-alih agama menjadi sumber bagi penciptaan dunia yang damai, justru menjadi sumber konflik dan kekerasan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wim Beuken dan Kar- Josef Kusc, dkk, bahwa kekerasan yang disebabkan oleh agama karena adanya; (1) klaim sebuah agama sebagai satu satunya agama yang benar, (2) agama dianggap jaminan langsung kesejahteraan masyarakat, (3) agama yang dianut dianggap sebagai perjanjian dan pilihan Tuhan. Pada intinya, agama menjadi sumber konflik dan kekerasan disebabkan oleh ekslusivitas dan fanatisme agama sehingga menyebabkan suatu agama merasa paling benar dan merasa berhak memperlakukan agama lain sebagai pihak yang sesat. Bahkan, perilaku kekerasan kadangkala dianggap sebagai bagian dari “tugas suci” agama.

Daftar pustaka :
Tobroni & Arifin, Syamsul. 1996. Islam: Pluralisme Budaya dan Politik. Yogyakarta: SIPRESS
Riyadi, Hendar. 2006. Melampaui Pluralisme: Etika al-Qur’an tentang Keragaman Agama. Jakarta: RMBOOKS &PSAP.
(http://munzaro.blogspot.com/2010/10/pluralisme-agama.html)

Minggu, 25 Desember 2011

TUJUAN PENDIDIKAN

BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pendidikan
Pendidikan memiliki definisi yang sangat luas dan dapat dilihat dari berbagai sudut.
   1. Definisi Umum
Pendidikan dapat diartikan sebagai Suatu metode untuk mengembangkan keterampilan, kebiasaan dan sikap-sikap yang diharapkan dapat membuat seseorang menjadi lebih baik.
   1. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara dan pembuatan mendidik
   1. Menurut Undang-Undang
a.  UU SISDIKNAS No. 2 tahun 1989 : Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang
b.  UU SISDIKNAS no. 20 tahun 2003: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
   1. Etimologi (Bahasa)
Bahasa Arab : berasal dari kata Tarbiyah, dengan kata kerja Rabba yang memiliki makna mendidik atau mengasuh. Jadi Pendidikan dalam Islam adalah Bimbingan oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani dan akal anak didik sehingga bisa terbentuk pribadi muslim yang baik.
Bahasa Yunani : berasal dari kata Pedagogi, yaitu dari kata “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing. Itulah sebabnya istilah pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni mengajar anak (the art and science of teaching children)
   1. Psikologi
Pendidikan adalah Mencakup segala bentuk aktivitas yang akan memudahkan dalam kehidupan bermasyarakat.
II.2 Dasar Pendidikan
Dasar pendidikan adalah pondasi atau landasan yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan cara berlatih dan belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah, sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apa-apa yang tidak ditemui di sekolah. Hal ini lebih penting dikedepankan supaya tidak menjadi masyarakat berpendidikan yang tidak punya dasar pendidikan sehingga tidak mencapai kesempurnaan hidup. Apabila kesempurnaan hidup tidak tercapai berarti pendidikan belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Dasar atau landasan pendidikan dapat dilihat dari berbagai segi yaitu :
   1. Pandangan Islam
   1. Al-qur’an.
Al-qur’an merupakan pedoman tertinggi yang manjadi petunjuk dan dasar kita hidup di dunia. Dalam Al-qur’an kita bisa menemukan semua permasalahan hidup termasuk pendidikan dan ilmu pengetahuan.
   1. Hadist
Hadist merupan pedoman kita setalah Al-qur’an, dengan demikian hadist juga merupakan dasar atau elemen dalam pendidikan.
   1. Nilai-nilai Sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan Hadist.
   1. Secara Umum
   1. Religius
Merupaken elemen atau dasar pendidikan yang paling pokok, disini ditanamkan nilai nilai agama islam (iman, akidah dan akhlak)  sebagai suatu pondasi yang kokoh dalam pendidikan
   1. Ideologis
Yaitu mengacu kepada ideologi bangsa kita yakni nya pancasila dan berdasarkan kepada UUD 1945. Dan intinya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

   1. Ekonomis
Pendidikan bisa dijadikan sebagai suatu langkah untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan keluar dari segala bentuk kebodohan dan kemiskinan.
   1. Politis
Lebih mengacu kepada suasana politik yang berlansung.
   1. Teknologis
Dunia telah mengalami eksplosit ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan bisa dikatakan teknologi sangat memiliki peran dalam kemajuan dunia pendidikan.
   1. Psikologis dan Pedagogis
Tugas pendidikan sekolah yang utama adalah mengajarkan bagaimana cara belajar, mendidik kejiwaan, menanamkan motivasi yang kuat dalam diri anak untuk belajar terus-menerus sepanjang hidupnya dan memberikan keterampilan kepada peserta didik, mengembangkan daya adaptasi yang besar dalam diri peserta didik.
   1. Sosial Budaya
Mengacu kepada hubungan antara individu dengan individu lainnya dalam suatu lingkungan atau masyarakat. Begitu juga hal nya dengan budaya, budaya masyarakat sangat berperan dalam proses pendidikan, karena budaya identik dengan adat dan kebiasaan. Apabila sosial budaya seseorang itu berjalan baik maka pendidikan akan mudah dicapai.
II.3 Tujuan Pendidikan
Tujuan Pendidikan akan menentukan kearah mana anak didik akan dibawa. Disamping itu pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia indonesia.  Tujuan pendidikan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu menurut islam dan tujuan pendidikan secara umum.
   1. A. Tujuan Pendidikan Dalam Islam
Tujuan pendidikan islam adalah mendekatkan diri kita kepada Allah dan pendidikan islam lebih mengutamakan akhlak. Secara lebih luas pendidikan islam bertujuan untuk
    * Pembinaan Akhlak
    * Penguasaan Ilmu
    * Keterampilan bekerja dalam masyarakat
    * Mengembangkan akal dan Akhlak
    * Pengajaran Kebudayaan
    * Pembentukan kepribadian
    * Menghambakan diri kepada Allah
    * Menyiapkan anak didik untuk hidup di dunia dan akhirat
   1. B. Tujuan Pendidikan Secara Umum
Tujuan pendidikan secara umum dapat dilihat sebagai berikut:
   1.
         1. Tujuan pendidikan terdapat dalam UU No2 Tahun 1985 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan dan bertagwa kepada tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan kerampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa.
         2. Tujuan Pendidikan nasional menurut TAP MPR NO II/MPR/1993 yaitu  Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan memepertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawaan sosial, serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.
         3. TAP MPR No 4/MPR/1975, tujuan pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangun yang berpancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari Uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa :
   1. Pendidikan menurut pandangan islam lebih dominan kepada pembentukan akhlak, akidah dan iman. Sedangkan secara umum pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan pengembangan kemapuan yang dimiliki. Apabila kedua hal ini digabungkan maka hasil dari pendidikan akan sangat maksimal dan menghasilkan peserta didik yang memiliki intelektual dan akhlak yang mulia.
   2. Dasar pendidikan menurut islam fokus kepada Al-qur’an dan hadist sedang secara umum dasar pendidikan juga lebih menitik beratkan ke dasar religius.
   3. Tujuan Pendidikan baik secara islam dan umum hampir memiliki kesamaan yaitu mendapatkan kesuksesan. Apabila digabungkan maka tujuan pendidikan adalah upaya untuk meraih kesuksesan hidup di dunia dan akherat.

Saran
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik maka perlu adanya pemahaman terhadap dasar dan tujuan pendidikan secara mendalam baik secara islam maupun secara umum. .
http://bukittingginews.com/2010/10/makalah-dasar-dan-tujuan-pendidikan/

Sabtu, 24 Desember 2011

OTONOMI PERGURUAN TINGGI


OTONOMI PERGURUAN TINGGI

A.   Pendahuluan
Selama pemerintahan Orde Baru, praktik pendidikan di Indonesia memperlihatkan ciri utama yaitu adanya sentralisasi yang amat kuat. Kecenderungan sentralisasi otoritas sangat tinggi, dimana hampir semua hal ditentukan oleh pusat, sebaliknya hak-hak daerah diambil pusat sehingga aparat di daerah tidak berdaya. Sentralisasi ini juga diikuti dengan adanya formalisasi yang amat tinggi, yang mengatur sampai ke hal-hal yang kecil. Sejak dari gagasan, proses penentuan kebijakan, pembuatan undang-undang, sampai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pun dibuat oleh pusat. Akibatnya, daerah tidak terbiasa menyelesaikan persoalan sendiri karena harus meminta petunjuk pusat. Bagi dunia pendidikan berarti tidak ada otonomi bagi penyelenggaraan pendidikan di daerah, juga tidak ada otonomi pendidikan pada lapis paling depan termasuk perguruan tinggi.
Pada hakikatnya otonomi bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah. Lembaga-lembaga dimaksud diharapkan mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa banyak dipengaruhi dan tergantung dari pihak lain. Dalam rangka untuk mencapai tujuan kemandirian tersebut dilakukan upaya-upaya pemberdayaan (empowerment) terutama semua pihak terkait dengan pelaksanaan otonomisasi itu.
Desentralisasi pendidikan adalah penyerahan kekuasaan pemerintah kepada daerah dalam bidang pendidikan. Salah satu model desentralisasi pendidikan adalah otonomi perguruan tinggi, yaitu pemberian kewenangan secara luas kepada perguruan tinggi untuk mengatur organisasi dan rumah tangganya sendiri dengan badan hukum yang bersifat nirlaba. Unsur-unsur yang terlibat dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi menurut PP Nomor 60 Tahun 1999 Pasal 27 adalah dewan penyantun, unsur pimpinan, unsur tenaga pengajar, senat perguruan tinggi, unsur pelaksana akademik (bidang pendidikan, bidang penelitian, dan bidang pengabdian pada masyarakat), unsur pelaksana administratif, dan unsur penunjang (perpustakaan, laboratorium, bengkel, pusat komputer, kebun percobaan dan lain-lain yang dirasa perlu).
Sementara itu, berdasarkan PP Nomor 61 Tahun 1991, organisasi perguruan tinggi terdiri dari unsur-unsur (1) majelis wali amanat, (2) dewan audit, (3) senak akademik, (4) pimpinan, (5) tenaga edukatif, (6) tenaga administrasi, (7) teknisi, (8) pustakawan, (9) unsur pelaksana akademik (fakultas, jurusan, lembaga, pusat-pusat, dan bentuk lain yang dianggap perlu, (10) unsur pelaksana administratif (biro, bagian, atau bentuk lain yang dianggap perlu), (11) unsur penunjang (pepustakaan, laboratorium, bengkel, pusat komputer, dan lainnya).
Desentralisasi pendidikan sebagai penyerahan wewenang urusan pemerintahan kepada daerah, sehingga wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah, termasuk di dalamnya penentuan kebijakan perencanaan pelaksanaan, maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaan dan aparatnya (Tim Teknis Bappenas, 1999 : 6).
Pendidikan tinggi memerlukan otonomi bukan hanya otonomi dalam bentuk kebebasan akademik, tetapi juga otonomi kelembagaan dalam masalah-masalah manajemen, penyusunan program, dan anggaran. Dengan demikian, pendidikan tinggi tersebut sebagai lembaga akan bersifat kreatif dan menjadi pelopor perubahan baik di dalam masyarakat sekitarnya maupun di dalam kemajuan ilmu pengetahuan.
Dengan adanya otonomi lembaga pendidikan tinggi, maka dapat dipilah-pilah prinsip-prinsip mana yang dapat diterapkan dalam lingkungan pendidikan tinggi yang ada. Mengubah suatu sistem manajemen pendidikan tinggi tidaklah semudah sebagaimana yang digambarkan. Terdapat banyak kendala yang dihadai di dalam penerapan suatu sistem. Selain itu, setiap perubahan sistem biasanya menuntut biaya dan persiapan yang matang, apalagi jika tidak tersedia sumber daya manusia yang diperlukan, maka setiap penerapan prinsip manajemen baru akan meminta biaya besar.
Namun demikian, dalam rangka penerapan otonomi perguruan tinggi terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi, yaitu (1) kualitas sumber daya manusia yang terbatas; (2) sikap dan budaya kerja yang kurang disiplin; (3) terbatasnya sumer daya pemerintah untuk menyediakan biaya operasional tahap awal; (4) terbatasnya kemampuan orang tua untuk menyekolahkan anaknya dengan pembayaran SPP yang tinggi; dan (5) kurangnya kesabaran dosen, teknisi dan tenaga administrasi untuk berjuang bersama dengan penghargaan yang terbatas sebelum perguruan tinggi menghasilkan cukup dana dari usaha swadananya (Sufyarma, 2003 : 164).
Sekarang beberapa perguruan tinggi di Indonesia diperkenankan menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), tetapi dari beberapa informasi yang didapatkan pelaksanaan BHMN ini mengundang persoalan baru terutama dalam sektor pembiayaan yang berakibat tingginya SPP yang harus dibayar oleh mahasiswa, dan ini mengundang banyak keluhan terutama dari para orang tua.

B.   Konsep Otonomi Perguruan Tinggi
Membangun hubungan yang erat antara perguruan tinggi dengan dunia kerja merupakan satu hal yang sangat penting mengingat hubungan itu bisa menghasilkan keuntungan besar bagi pembangunan dan penyelenggaraan perguruan tinggi. Bagi perguruan tinggi, mereka akan lebih mampu mendefinisikan peran mereka, identitas mereka sebagai institusi pendidikan, mendefinisikan hubungan antar perguruan tinggi dengan lembaga-lembaga industri (Solomon, Boud, 2001). Itu semua bisa dilakukan apabila perguruan tinggi memiliki kreativitas dan kemampuan inovasi dalam pengembangan kelembagaannya. Dalam upaya membangun kemampuan kreativitas dan inovasi tersebut, perguruan tinggi harus diberikan keleluasaan untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri atau yang sering disebut dengan otonomi perguruan tinggi.
Suatu pendidikan tinggi memerlukan otonomi bukan hanya otonomi dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik seperti yang dikenal selama ini, tetapi juga otonomi lembaga di dalam masalah-masalah manajemen, penyusunan program, dan anggaran. Dengan demikian, perguruan tinggi tersebut sebagai lembaga akan bersifat kreatif dan menjadi pelopor perubahan baik di dalam masyarakat sekitarnya maupun di dalam kemajuan ilmu pengetahuan.
Menurut PP Nomor 60 Tahun 1999, pendidikan tinggi adalah pendidikan jalur pendidikan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi daripada pendidikan menengah. Perguran tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. Selanjutnya menurut PP  tersebut (Pasal 2) tujuan pendidikan tinggi adalah :
1.    Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian;
2.    Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian, serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Dalam aktivitas kesehariannya perguruan tinggi menyelenggarakan yang dinamakan dengan “Tri Dharma Perguruan Tinggi”, yaitu (1) pendidikan dan pengajaran, (2) penelitian, dan (3) pengabdian pada masyarakat.
Dalam Pasal 17 ayat (1) PP Nomor 60Tahun 1999 dinyatakan bahwa kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan merupakan kebebasan yang dimiliki civitas akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab dan mandiri.
Pengertian umum tentang asas otonomi dan kebebasan akademik adalah (1) otonomi merupakan hak atau kewenangan yang diberikan oleh pihak yang berwenang atau pemerintah kepada suatu lingkungan masyarakat, himpunan ataupun badan resmi lain untuk menyelenggarakan fungsi secara mandiri selama hal tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku secara umum dalam masyarakat; (2) kebebasan akademik merupakan kebebasan yang ada pada civitas akademika dalam melaksanakan tuga dan kegiatan fungsionalnya, yaitu pendidikan dan penelitian ilmiah.
Dalam konteks perguruan tinggi, otonomi secara luas dapat diartikan sebagai pemberian kewenangan bagi perguruan tinggi untuk mengatur organisasi dan rumah tangganya sendiri melalui pembentukan badan hukum yang bersifat nirlaba. Dalam pembentukan badan hukum tersebut sebagian aset pemerintah dipisahkan dengan pertimbangan untuk keperluan dan maksud tertentu.
Pemberian otonomi kepada perguruan tinggi menyangkut beberapa aspek sebagai berikut :
1.    Otonomi eksternal, dalam bentuk pemberian status sebagai badan hukum, atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Seagai unit independen, perguruan tingi bukan lagi unit pelayanan Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional.
2.    Otonomi Organisasi, perguruan tinggi memiliki kebebasan untuk menetapkan struktur organisasi, termasuk menetapkan struktur program studi dan kegiatan akademik serta merencanakan sumber daya.
3.    Otonomi kelembagaan, dimana perguruan tinggi mempunyai kebebasan untuk menetapkan bagaimana fungsi dan kontribusi mereka dalam mengembangkan, melanggengkan, mentransmisikan, dan menggunakan ilmu pengetahuan. Begitu juga, mereka mempunyai kebebasan untuk memutuskan riset apa yang perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya, serta dengan pihak siapa saja mereka ingin bekerja sama dalam melakukan penelitian dan pelatihan penelitian.
Menurut Hamijoyo (1992 : 2), otonomi perguruan tinggi sebagai salah satu model desentralisasi pendidikan adalah (1) pola dan pelaksanaan manajemen harus demokratis; (2) pemberdayaan masyarakat harus menjadi tujuan utama; (3) peran serta masyarakat menajdi bagian mutlak dari sistem pengelolaan; (4) Pelayanan harus lebih cepat, efisien, efektif, melebihi pelayanan era sentralisasi demi kepentingan peserta didik dan rakyat banyak; dan (5) keanekaragaman aspirasi dan nilai serta norma lokal harus dihargai dalam penguatan sistem pendidikan nasioanal.
Otonomi Perguruan Tinggi bertujuan (1) untuk mengambil keputusan secara bebas sesuai dengan potensi dan kemajuan IPTEK; (2) untuk meningkatkan kualitas berbagai inovasi dalam IPTEK; (3) untuk meningkatkan kegiatan sosial sebagai perwujudan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi (Sufyarma, 2003 : 160).
Selanjutnya Sufyarma (2003, 160) mengemukakan bahwa dengan pemberian otonomi perguruan tinggi banyak manfaat yang didapatkan, yaitu :
1.    Dapat merencanakan, melaksanakan dan mengontrol sumber daya perguruan tinggi secara efektif;
2.    Lebih fleksibel dan dinamis dalam menentukan kebijakan perguruan tinggi tanpa menunggu petunjuk dan persetujuan dirjen Dikti;
3.    Lebih realistis untuk melaksanakan visi dan misinya, dan
4.    Dalam jangka panjang perguruan tinggi menjadi institusi yang independen dari pemerintah, kekuatan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya.

C.   Akuntabilitas Perguruan Tinggi     
Akuntabilitas suatu lembaga pendidikan tinggi berarti sejauhmana lembaga tersebut mempunyai makna dari the shareholder lembaga tersebut, yaitu masyarakat. Suatu lembaga pendidikan tinggi tidak mempunyai nilai akuntabilitas apabila lembaga tersebut terlepas dari jangkauan atau kebutuhan masyarakat yang memilikinya. Pendidikan tinggi yang bertahta di atas menara gading sudah tentu tidak mempunyai akuntabilitas.
Dalam upaya meningkatkan akuntabilitas perguruan tinggi, perlu ditingkatkan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaannya. Hal ini berarti masyarakat merasa memiliki dan karenanya aktif menunjang pengembangannya. Konteks-konteksnya dengan hal itu, berarti perguruan tinggi berfungsi tidak hanya sebagai pengembang dan tempat menggali ilmu pengetahuan, tetapi lebih jauh bisa dikatakan sebagai industri jasa. Dengan kata lain, perguruan tinggi perlu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan perkembangan ekonomi atau tenaga kerja yang diperlukan oleh daerah dimana lembaga pendidikan tinggi itu berada.
Akuntabilitas sangat diperlukan seperti sekarang ini ketika sebagian besar masyarakat berpikiran pragmatis, yang biasanya selalu mempertanyakan apa yang bisa dilakukan dan apa jaminan masa depan anak-anaknya apabila dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi yang menjadi pilihannya. Apabila perguruan tinggi tersebut kurang mampu memberikan jaminan, dengan sendirinya perguruan tinggi tersebut sedikit demi sedikit akan ditinggalkan orang.
Selama ini akuntabilitas terasa masih minim, sehingga perguruan tinggi bagaikan sebuah menara gading, berdiri megah, hebat, tetapijarang tersentuh masyarakatnya, masyarakat terasa asing terhadap keberadaan lembaga pendidikan tersebut, sehingga kepedulian mereka juga boleh dikatakan hampir tidak ada. Jangankan masyarakat mengenal siapa-siapa dosen dan karyawannya, untuk kalangan pejabat atau pimpinannya saja tidak tahu dan tidak kenal. Kalau demikian, tentu sangat sulit untuk mengharapkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan kepedulian lembaga yang ada.
Di negara mana pun, pendidikan tinggi semakin dituntut untuk memberikan pertanggungjawaban tentang penyelenggaraan dan pelaksanaan misi dan fungsinya. Hal demikian wajar karena pendidikan tinggi selalu berhadapan dengan sejumlah pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang memiliki pengaruh terhadap aliran sumber daya yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan tinggi.
Secara harfiah dan substantif materi, akuntabilitas yang menyangkut bagaimana sumber daya yang diterima oleh perguruan tinggi dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk berbagai aktivitas yang menunjang pencapaian yang diinginkan. Akuntabilitas tersebut antara lain menyangkut derajat efisiensi dan kesesuaian dengan norma dan peraturan yang berlaku umum. Akan tetapi, akuntabilitas yang dituntut dari perguruan tinggi menyangkut juga hal-hal yang lebih luas dari hanya auditabilitas.
Paling tidak akuntabilitas menyangkut hal-hal seperti (1) kesesuaian antara visi dengan falsafah, moral, dan etika yang dianut secara umum oleh masyarakat; (2) kesesuaian antara tujuan dengan pola kegiatan civitas akademika serta hasil dan dampak yang dicapai; (3) keterbukaan terhadap pengawasan dan pemantauan oleh pihak yang berkepentingan mengenai penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan fungsionalnya yang meliputi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; (4) akuntabilitas dalam pemanfaatan sumber daya dalam upaya pencapaian tujuan yang ditetapkan; (5) Akualisasi asas otonomi dan kebebasan akademik agar tidak disalahgunakan atau menyimpang dari peraturan dan kesepakatan yagn ditetapkan sebagai rambu-rambu; (6) kesadaran para civitas akademika bahwa aktualisasi perilakunya tidak mengganggu pelaksanaan kegiatan fungsional lembaga dan juga masyarakat pada umumnya.
Dalam manajemen perguruan tinggi, akuntabilitas seyogianya menjadi acuan dasar dari pengembangan perangkat aturan, pengaturan dan kesepakatan yang mengikat seluruh civitas akademika dan mengupayakan peningkatan mutu lulusan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat yang membutuhkannya.


D.   Perguruan Tinggi dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN)
Pengelolaan sumber daya manusia merupakan isu sentral dalampengelolaan perguruan tinggi. Oleh karena itu, sebuah perguruan tinggi harus dapat menghasilkan SDM yang mampu : (1) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) mengolah potensi-potensi pembangunan; (3) meningkatkan produktivitas, modal dan investasi; serta (4) SDM yang peka dan termotivasi untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan (Surakhmad, 1999 : 19). Selanjutnya Suryadi (1997 : 11) mengemukakan bahwa perguruan tinggi harus mampu mengembangkan SDM Indonesia yang bermutu, yaituyang mampu memberikan ketahanan bangsa dalam era global. Mutu SDM dimaksud paling tidak memiliki tiga komponen, yaitu : (1) memiliki penguasaan keahlian dalam cabang ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) mampu bekerja secara profesional; dan (3) mampu menghasilkan karya yang bermutu.
Salah satu upaya peningkatan SDM dan kapasitas otonomi perguruan tinggi, maka dilakukan perubahan status badan hukum perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Ada beberapa alasan mendasar yang melatari mengapa pemerintah melakukan perubahan status badan hukum PTN ini, yaitu sebagai berikut :
1.    Dalam rangka menjalankan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 51 ayat (2) tentang prinsip pelaksanaan pengelolaan satuan pendidikan tinggi yang dilaksanakan secara otonom dan Pasal 53 ayat (1) – (3) tentang Badan Hukum Pendidikan, maka pemerintah kemudian mengupayakan satu sistem pendidikan tinggi yang dilaksanakan secara mandiri, berorientasi mutu, prinsip nirlaba, serta mampu mengelola dana pendidikannya secara mandiri.
Upaya-upaya tersebut selanjutnya menggiring pemerintah untuk melaksanakan pilot project pelaksanaan perguruan tinggi BHMN pada beberapa PTN, yaitu Universitas Indonesia, UGM, ITB dan IPB, yang acuan pelaksanaannya berdasarkan pada PP No. 152 Tahun 2000 untuk UI, PP Nomor 153 Tahun 2000 untuk UGM, PP Nomor 154 Tahun 2000 untuk ITB, dan PP Nomor 155 Tahun 2000 untuk IPB.
Proses pilot project tersebut kemudian melahirkan sejumlah aturan baru, diantaranya adalah jika dalam PP Nomor 30 Tahun 1999 dan PP Nomor 70 Tahun 1999, Rektor Universitas / Institut yang diselenggarakan pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri (Pendidikan), Menteri lain atau lembaga pemerintah lain setelah mendapat pertimbangan senat universitas/institut bersangkutan, maka khusus bagi universitas/institut berstatus BHMN, Rektor diangkat dan diberhentikan oleh Majelis Wali Amanat (MWA), yang terdiri dari Menteri, Senat Akademik, Masyarakat, Karyawan, Mahasiswa, dan Rektor.
2.    Pemerintah saat ini tengah mengalami kendala pendanaan pendidikan yang cukup serius. Akibatnya, banyak institusi pendidikan yang terbengkalai tanpa ada perhatian pengembangan yang cukup baik dari pemerintah. Kendala pendanaan pendidikan ini mungkin terjadi karena memang pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk membiayai pendidikan. Namun, hal itu tidaklah sepenuhnya benar sebab pada kenyataannya banyak terjadi penyimpangan dana pendidikan yang tidak tepat peruntukannya.
3.    Banyak kalangan yang menilai bahwa kinerja perguruan tinggi negeri secara umum masih kurang memuaskan sehingga perlu adanya treatment baru dalam pengelolaannya. Masih kurang memuaskannya kinerja PTN terlihat dari tingginya inefisiensi yang dilakukan di beberapa PTN. Pola layanan yang diberikan kepada para stakeholders dianggap masih probirokrat sehingga kesan layanan yang lambat, tidak produktif, mewarnai kinerja yang dilakukan PTN.
Ketiga hal yang melatari kelahiran PT BHMN tersebut dalam realitasnya pada akhirnya mendulang sejumlah kontroversi dan menimbulkan dampak yang cukup signifikan dalam pengelolaan pendidikan di lapangan. Diantara dampak langsung dari PT BHMN ini adalah semakin mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat. Selain itu Konsekuensi PT BHMN adalah keharusan almamater untuk lebih bersifat enterpreneurial, dengan lebih berorientasi pada sektor bisnis dan manajemen yang lebih efisien dan efektif.
Mungkin dapat dipahami bahwa sebuah perguruan tinggi memerlukan biaya besar dan mahal untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang baik dan bermutu. Biaya-biaya tersebut terutama diperlukan guna menjamin keberlangssungan dan ketersediaan (1) tenaga akademik yang berkualitas; (2) buku perpustakaan; (3) peralatan laboratorium; (4) ruang kuliah dan kantor dan (5) fasilitas pendukung lainnya seperti seperangkat komputer dan jaringan internet guna memudahkan akses ke berbagai sumber daya akademik secara elektronik (jurnal ilmiah, publikasi hasil penelitian, dan sebagainya).

E.   Kemampuan Membangun Networking
Keadaan dunia tanpa batas yang penuh tantangan dan peluang harus dihadapi sebagai suatu kenyataan oleh pendidikan tinggi. Dengan menawarkan program-program akademik unggulan, lebih-lebih yang bertaraf internasional, maka lembaga pendidikan tinggi akan mampu bersaing secara global dan akan bisa terus survive.
Sebuah perguruan tinggi pada dasarnya bukanlah suatu self sufficient institution, lebih-lebih dalam dunia terbuka dan tanpa batas seperti sekarang. Sebuah perguruan tinggi memerlukan nerworking atau jaringan kerja sama dalam bentuk kemitraan yang sejajar antara semua perguruan tinggi dan pihak-pihak lain yang diperlukan untuk kemajuan perguruan tinggi tersebut. Antara PTN dengan PTN, antara PTS dengan PTS, antara PTN dengan PTS haruslah merupakan suatu jaringan kemitraan yang saling membantu. Dengan dilakukannya kerja sama ini, sumber-sumber yang tersedia akan saling melengkapi sehingga terjadi efisiensi di dalam sistem pendidikan yang dilaksanakan. Persaingan boleh sja terjadi selama konteks  pengembangan dan peningkatan kualitas.
Kerja sama antarlembaga pendidikan tinggi perlu juga dilengkapi dengan kerja sama dengan dunia industri, lembaga-lembaga konsumen, dunia kerja yang memerlukan tamatan-tamatan pendidikan tinggi. Hal ini menjadi lebih penting ketika cara berpikir masyarakat sangat pragmatis seperti sekarang ini, yang menginginkan lulusan perguruan tinggi mampu berkeja dan menjamin masa depannya.
Di samping itu, kerja sama juga snagat diperlukan dengan lembaga-lembaga penelitian yang ada di dalam dunia industri, LSM, organisasi-organisasi, dan masyarakat. Dengan demikian, kerja sama yang dilakukan selalu dalam “win-win” yang saling menguntungkan, baik untuk perguruan tinggi sendiri maupun untuk industri sehingga keduanya akan dapat mengambil manfaat dari kerja sama yang produktif dari lembaga-lembaga penelitian tersebut.
Apabila dalam dimensi lokal kerja sama dilakukan antarperguruan inggi baik negeri maupun swasta di dalam negeri, maka dalam konteks global kerja sama yang dilakukan dengan perguruan tinggi di luar negeri merupakan suatu keharusan. Kerja sama dengan perguruan tinggi terbaik regional dan internasional dapat berupa pertukaran tenaga pengajar, mahasiswa, melakukan penelitian bersama, atau menyusun kurikulum yang baik. Jaringan kerja sama internasional akan memberikan manfaat bagi pengembangan lembaga maupun pengembangan ilmu pengetahuan.
Kemampuan membangun jaringan kerja sama ini hanya bisa dilakukan kalau perguruan tinggi memiliki kemampuan otonomi sehingga terbangun kerja yang kreatif dan inovatif.

F.    Perguruan Tinggi dan Pembangunan Kualitas SDM
Terjadinya perubahan dan perkembangan dunia yang begitu cepat menuntut keunggulan SDM suatu bangsa yang unggul pula agar mampu bersaing dalam iklim yang sangat kompetitif. Hanya manusia unggul yang dapat survive dalam kehidupan yang penuh kompetisi dan ketidakpastian. Oleh kerena itu, pembangunan SDM merupakan kebutuhan mutlak. Dan dalam hal ini perguruan tinggi mempunyai peran sangat strategis.
Pembangunan SDM pada dasarnya merupakan pembangunan manusia sebagai subjek (human capital), objek (human resources) dan penikmat pembangunan. Dimensi pembangunan SDM dapat dilihat dari tiga aspek utama, yaitu kualitas, kuantitas dan mobilitas penduduk. Kualitas penduduk tercermin antara lain dari tingkat kesejahteraan penduduk, yaitu pendidikan, produktivitas dan akhlak mulia menuju pada pencapaian kesejahteraan sosial yang baik.
Salah satu indikator utama peningkatan kualitas SDM terlihat dari meningkatnya tingkat pendidikan, di samping indikator lainnya. Berdasarkan Human Development Report 2003, nilai Human Development Index (HDI) atau Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia merosot dari 0,684 menjadi 0,682. Hal ini menyebabkan peringkat Indonesia di antara 175 negara juga merosot dari posisi 110 menjadi 112. Kenyataan tentu bukan sesuatu yang menggembirakan sebab ternyata bangsa-bangsa lain begitu serius untuk melakukan pengembangan SDM-nya, terutama sekali melalui pendidikan. Dalam kaitan ini, perguruan tinggi dapat menjadi agent of change yang terdepan, yang dapat merespons semua aspirasi perkembangan keilmuan dan kebutuhan pembangunan yang ada.
Untuk melakukan berbagai perubahan, perguruan tinggi di Indonesia memang mengalami kendala yang boleh dikatakan luar biasa sulitnya. Hal ini terutama disebabkan sistem yang sudah sedemikian terbangunan, belum lagi mentalitas para pemimpin dan seniornya yang cukup feodal dan sulit untuk menerima sebuah perubahan. Ini terjadi karena sekian lmaa perguruan tinggi dibangun dengan sistem pemerintahan yang sentralistik, yang segala-galanya harus ditentukan oleh pusat.
Sebagai akibat kebijakan sentralisasi dalam beberapa dekade penyelenggaraan pendidikan tinggi, dampaknya tidak saja melahirkan sifat-sifat seperti ambivalen, afirmatif, arogan, dan sebagainya, tetapi juga kesulitan dalam pengembangan dan peningkatan kualitasnya sehingga sulit bersaing dengan perguruan-perguruan tinggi yang ada di luar negeri. Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan tinggi, dampak yang boleh dikatakan cukup fatal dapat dilihat antara lain sebagai berikut.
1.    Matinya kreativitas dan inovasi, dimana adanya peraturan dan perundang-undangan yang sentralistis menjadikan tidak jalannya kreativitas dan inovasi di lingkungan perguruan tinggi. Sebagai contoh, penambahan program studi baru dan penyelenggaraan distance learning tidak mudah untuk segera dilaksanakan.
2.    Kekakuan dan kekacauan dalam penyelenggaraan proses pembelajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Di Indonesia untuk menyelesaikan S1 harus menempuh sebanyak 144-160 sks. Berdasarkan referensi dari negara-negara lain (Amerika, Australia, Eropa dan negara-negara ASEAN lain) untuk mencapai gelar B.A., B.Sc. (setara S1 di Indonesia) diperlukan hanya 120 SKS. Di Indonesia perguruan tinggi yang menerapkan kurikulum 120 sks dengan menerapkan pengkajian kurikulum secara cermat, sering kali mendapat teguran.
Persoalan lain yang masih dihadapi perguruan tinggi, selain otonomi perguruan tinggi, adalah masih terjadinya kesenjangan perhatian pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi, terutama menyangkut pembiayaan. Kesenjangan tersebut seperti PTN dan PTS, PTN Umum dan PTAIN, dan lain-lain. Bagi perguruan tinggi swasta, memperoleh cipratan 2 persen saja setahun dari anggaran Dikti sudah merupakan sesuatu yang luar biasa besarnya. Begitu juga anggaran pembaiayaan perguruan tinggi yang berada di bawah Departemen Agama, meskipun statusnya negeri, namun pembiayaan masih sangat kurang. Bahkan, berdasarkan hasil penelitian, biaya operasional yang diberikan pemerintah terhadap 14 buah IAIN se-Indonesia, tidak lebih besar dibandingkan sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta.
Dalam konteks pengembangan kualitas sumber daya manusia, perguruan tinggi merupakan lembaga yang berupaya mencetak sumber daya manusia tingkat tinggi, yang akan menjadi penggerak dan pemimpin masyarakatnya. Untuk meningkatkan kualitas suatu perguruan tinggi, diperlukan tenaga-tenaga dosen andal dan bermutu. Sejalan dengan itu, perguruan tinggi juga harus mampu melakukan kiprah dalam habitatnya yaitu melaksanakan penelitian, baik yang diperlukan oleh masyarakat sekitar maupun bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Yang jelas tuntutannya adalah kualitas pendidikan dan perguruan tinggi perlu ditingkatkan, baik menyangkut penyelenggaraan dan program-program yang dikembangkan maupun out-putnya. Program-program yang dikembangkan harus dapat memenuhi kebutuhan pelanggannya atau dengan kata lain paling tidak harus memerhatikan tuntutan dunia kerja yang ada, sementara out-put nya juga perlu peningkatan kualitas seiring dengan kualitas penyelenggaraan yang semakin baik.
Di samping diperlukan reformasi tentang penyelenggaraan pendidikan, dalam upaya peningkatan kualitas, diperlukan juga beberapa kondisi, antara lain :
1.    Adanya komitmen politik pada perencanaan pendidikan;
2.    Perencanaan pendidikan harus tahu betul apa yang menajdi hak, tugas dan tanggung jawabnya;
3.    Harus ada perbedaan yang tegas antara area politis, teknis, dan administratif pada perencanaan pendidikan;
4.    Perhatian lebih besar diberikan pada penyebaran kekuasaan untuk membuat keputusan politis dan teknis;
5.    Perhatian lebih besar diberikan pada pengembangan kebijakan dan prioritas pendidikan yang terarah;
6.    Mengurangi politisasi pengetahuan;
7.    Harus berusaha lebih besar untuk mengetahui opini publik terhadap perkembangan masa depan dan arah pendidikan;
8.    Administrator pendidikan harus lebih aktif mendorong perubahan dalam perencanaan pendidikan;
9.    Ketika pemerintah tidak menguasai lagi semua aspek pendidikan, harus lebih diupayakan kerja sama yang saling menguntungkan antara pemerintah –swasta—perguruan tinggi yang memegang otoritas pendidikan.
Akhirnya, dalam upaya peningkatan peran dan kualitas perguruan tinggi ke depan, akuntabilitas dan kemandirian perguruan tinggi merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, para penyelenggara pendidikant inggi sekarnag perlu melakukan introspeksi dan retrospeksi sejauhmana hal tersebut sudah dilakukan. Perguruan tinggi yang memerhatikan akuntabilitas sudah pasti akan melibatkan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini tidak saja dalam bentuk pengelolaan, tetapi juga program-program yang dikembangkan perguruan tinggi harus menyahuti atau mempunyai relevansi dengan berbagai kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya.